*Oleh : Halimah Ayu W
Terik matahari siang itu seakan membakar tubuhku, baru saja aku mengikuti kuliah yang sangat melelahkan. Sepertinya ilmu yang baru saja kuperoleh itu menguap dan hilang entah kemana. Karena tak ada jadwal kuliah berikutnya, aku putuskan untuk pulang saja beristirahat. Sambil menunggu angkot, aku berteduh di bawah pohon yang agak rindang. Kulihat beberapa mahasiswa masih berkeliaran di pelataran kampus, tak kuhiraukan teriakan – teriakan para supir angkot yang lalu lalang di hadapanku. Tiba – tiba sebuah angkot berhenti tepat di hadapanku. Sesosok wajah dengan peluh bercucuran muncul di balik kaca angkot.
“Ujung...!” katanya.
Kulihat jok belakang angkot sudah hampir penuh sesak, tapi masih ada satu tempat yang kosong di belakang supir. Tak ada alternatif lain, daripada aku tinggal berlama – lama di pinggir jalan sambil menghirup debu yang bisa saja merusak kesehatanku lebih baik aku naik saja di angkot itu. Seperti mengerti perasaan penumpang, sang supir memutar lagu – lagu kesukaan remaja masa kini. Mengalunlah suara merdu sang vokalis band ST12 putuskanlah saja pacarmu...di balik radio kecil sang supir angkot. Seketika itu juga rasa kantuk dan lelah yang kurasakan hilang entah kemana. Kuperhatikan sekeliling angkot yang kutumpangi itu, jarang aku melihat angkot yang hampir dipenuhi dengan tulisan – tulisan pembakar semangat jiwa mahasiswa. Hidup mahasiswa...!!! dan berbagai tulisan yang bahkan menghina para elit politik yang notabene tidak pernah mengenal yang namanya angkot.
Malam ini, aku harus belajar SKS ( Sistem Kebut Semalam ) lagi. Sistem yang paling jitu bagi mahasiswa jika tiba waktu ujian. Namun, sejak tadi tak ada sedikit pun materi yang nyangkut di kepala, bagaimana bisa nyangkut aku belajar di depan TV. Hihi.....
Kuletakkan diktat kuliahku yang masih sangat rapi karena tak pernah dibuka – buka itu, ada berita di TV yang menyita perhatianku. Mahasiswa kembali melakukan orasi dan para aktivis kampus termasuk tempat aku menuntut ilmu juga turut andil. Itu berarti besok bakal ada demo besar – besaran. Hatiku bersorak gembira mendengar berita itu, karena biasanya kampus bakal ditutup dan para dosen nggak akan memberikan kuliah. ( Jangan ditiru ya...)
Namun, entah apa yang mendorong diriku untuk bangun cepat pagi ini. Padahal semalam aku telah berniat untuk tidak ke kampus hari ini. Tak ada pilihan lain sebaiknya aku ke kampus saja turut memberi semangat kepada teman – teman di garis depan yang memperjuangkan kepentingan rakyat. Tak berapa lama akhirnya aku kembali bergelut dengan debu – debu jalanan menunggu angkot yang akan membawaku ke kampus seperti biasanya. Tanpa harus menunggu lama aku menaiki angkot yang telah penuh penumpang. Sekilas kulirik sang supir dibalik kemudi, aku kecewa bukan supir yang kemarin itu.
Mendekati pintu gerbang kampus, kondisi lalu lintas sangat macet. Benar juga dugaanku tadi malam, tampak huru – hara di sekitar kampus. Para mahasiswa yang melakukan orasi tampak bersemangat meneriakkan panji – panji kebenaran. Tiba – tiba aku merasakan solidaritas sesama mahasiswa, hampir saja aku turut bergabung di tengah – tengah mereka kalau tidak mengingat pesan mama.
“Nak, jangan sekali – kali kamu ikut berdemo ya...nanti kena peluru nyasar, lemparan batu nyasar, dan apa pun yang nyasar – nyasar itu,” pesan mama.
Ah, payah nih mama gini nih kalau orang yang waktu kuliah cuma belajar melulu nggak punya kesadaran sebagai mahasiswa. Terpaksa aku cuma jadi penonton di pinggir jalan melihat teman – teman berorasi, itu pun dari kejauhan takut kena yang nyasar – nyasar. Hihi...
Saat aku sedang memperhatikan teman – teman yang berorasi, tiba – tiba aku melihat sang supir angkot itu lagi. Masih dengan angkotnya yang sederhana namun membakar semangat mahasiswa. Yang membuat aku heran penumpang di atas angkot adalah para mahasiswa yang turut bergabung melakukan orasi. Nggak salah tuh...dan memang itu dia, bahkan sang supir kelihatan bersemangat angkotnya dijadikan sarana untuk berorasi. Untuk yang kesekian kalinya aku heran melihat seorang supir angkot sepertinya di jaman seperti ini.
Beberapa minggu kemudian, kuliah semester awal kembali dimulai. Setelah beberapa hari aku sempat depresi menghadapi ujian akhir semester lalu. Untung saja nggak ada nilai error harus ngambil SP alis semester pendek. Teman – teman yang lain pada pulang kampung kita di kampus melulu, kuliah. Kerajinan kali ya...hihi...
Seperti biasa hari pertama masuk kuliah, aktivitas perkuliahan belum berjalan. Kayaknya para dosen ngerti deh kalau mahasiswa mau lepas kangen dulu sama teman – temannya. Aku pun bersama teman – teman berinisiatif untuk berjalan – jalan ke fakultas lain. Biasa, mau cuci mata siapa tahu aja ada pemandangan bagus. Soalnya di fakultasku cowok – cowoknya kalau jalan pada nunduk, takut kesandung kali ya...
Saat aku dan teman – temanku sedang asyik ngobrol, tiba – tiba di kejauhan aku melihat seseorang yang tak asing lagi bagiku. Aku melihat sang supir angkot yang membuat aku sempat heran setengah mati. “Tapi apa yang dilakukannya disini?” batinku. Dengan diam – diam aku membuntuti kemana dia pergi. Rupanya dia menuju ke bagian akademik fakultas. Kulihat dia mengeluarkan beberapa helai uang lalu menyodorkannya dan uang itu berganti menjadi lembaran KRS ( Kartu Rencana Study ). Deg...tiba – tiba jantungku berdetak kencang.
“Siapa sebenarnya sang supir angkot ini?” tanyaku dalam hati.
Sepeninggal dirinya aku mencoba bertanya ke bagian akademik fakultas. Dan aku sangat terkejut mendengar siapa sebenarnya sang supir angkot itu. Ternyata dia adalah seorang mahasiswa. Menurut cerita ibu yang ada di akademik itu dia adalah mahasiswa yang kurang mampu namun tekadnya untuk melanjutkan kuliah sangat besar. Bahkan beberapa bulan yang lalu dia mengambil cuti beberapa waktu hanya untuk mengumpulkan uang dan baru hari ini dia baru bisa melanjutkan kuliahnya kembali. Aku tercengang mendengar kisah sang supir angkot itu.
Terjawablah sudah keherananku selama ini, angkot yang penuh tulisan – tulisan semangat mahasiswa, supir angkot yang rela angkotnya dijadikan sarana untuk berorasi. Tiba – tiba aku menyadari sikapku selama ini. Aku hanya menghambur – hamburkan uang orang tuaku tanpa kuliah dengan sungguh – sungguh. Setelah aku mengucapkan terima kasih kepada ibu petugas akademik fakultas, aku kembali ke teman – temanku dan terpaksa menyeret mereka kembali. Aku harus menyadarkan diriku dan teman – temanku. Di luar sana ada orang yang membanting tulang untuk membiayai kuliahnya, sementara kami tak pernah mempergunakan kesempatan yang telah diberikan Tuhan kepada kami. Dia hanyalah seorang supir angkot namun jasa dan perjuangannya sangat besar. Semoga di luar sana banyak orang yang tersadarkan dari kisah sang supir angkot ini. * (Ners 2007)
Read More..